The Privilege to Fail
Ga pernah merencanakan untuk bekerja 8 to 5 selamanya, pun melanjutkan dengan apa yang akan saya lakukan saat ini dan kedepannya.
Memutuskan berhenti untuk menjadi budak koorporat adalah hasil pertimbangan selama 3 tahun ketika pertanyaan "What I want to do for the rest of my life?" muncul. Entah kenapa punya dorongan bahwa jawaban tersebut perlu diputuskan maksimal di usia 30 tahun. Mungkin karena jika rata-rata usia harapan hidup di Indonesia sekitar 60-70 tahun, masih ada setengah sisa hidup lagi yang bisa saya maksimalkan untuk mencoba melakukan apa yang benar-benar saya inginkan. Rupanya keputusan besar ini akhirnya saya lakukan saat ini, usia 29, di tahun 2025.
Keputusan yang berat di kepala tapi ringan di hati. Dari awal pertanyaan tersebut muncul, sebenarnya hati kecil ini sudah tau apa jawabannya. Tapi pikiran-pikiran tentang ke-duniawi-an, never ending what if yang terlalu liar, worst case skenario yang mungkin terjadi, menghalangi itu semua sehingga yang muncul hanya kegelisahan. Setelah semua di urai ke dalam poin-poin yang mewakili, ternyata mitigasinya sudah kami siapkan agar bisa seminimal mungkin risikonya. Semuanya jadi terasa ringan kembali, sejalan dengan keyakinan diri untuk berusaha bertawakal juga pada akhirnya.
Manusia adalah tempatnya goyah. Mungkin saat ini, perasaan yakin akan keputusan yang telah diambil masih sangat besar. Tapi beberapa tahun ke depan, tidak ada yang tahu. Maka dari itu, untuk meyakinkan diri saya kembali jika ada dalam fase ragu atas keputusan yang telah diambil ini kelak, ini adalah beberapa hal yang akan membuatmu yakin kembali mengambil keputusan untuk tidak bekerja 8 to 5 lagi, ketika kamu baca ulang.
1. Mendekati fitrah. Setelah banyak belajar tentang Fitrah Based Education sebelum memutuskan hamil dan memiliki anak, mendidik anak sesuai fitrah adalah hal yang sangat ingin saya lakukan. Memang tidak semua Ibu punya kesempatan tersebut, tapi pasti semua Ibu telah berusaha semaksimal mungkin untuk anaknya sesuai kondisinya masing-masing. Dalam case hidup saya saat ini, kondisi mendukung saya untuk punya kesempatan mendidik dan membersamai tumbuh kembang anak setiap harinya. Tidak mungkin kesempatan tersebut saya sia-siakan. Karena mendidik anak tidak bisa main-main. Anak adalah tanggung jawab orang tuanya untuk dapat memiliki peran baik di peradaban, maka harus saya usahakan semaksimal mungkin.
2. Memanfaatkan privilege. Kehidupan yang saya jalani sebelumnya sudah sangat padat, jarang ada jeda antara kesibukan satu dan lain, hingga saat ini. Tapi semua dilakukan hanya untuk "survive". Belum pernah punya kesempatan untuk mencoba hal-hal yang sebenarnya ingin saya lakukan. Setelah mempersiapkan finansial selama bekerja kemarin, dan support suami, akhirnya sedikit bisa berjeda dari mode "survive" tadi, sehingga bisa mulai mencoba hal-hal lain yang tidak pasti. Saya sebut itu sebagai 'The Privilege to Fail'. Setiap tahun, di catatan resolusi tahun baru jurnalku, beberapa mimpi selalu berubah-ubah. Hanya ada satu mimpi yang selalu konsisten saya tulis dari tahun ke tahun, yaitu ingin menjadi 'Seniman Rumahan'. Maka dari itu, privilege to fail kali ini akan saya manfaatkan untuk mencoba menjadi ilustrator khususnya buku anak agar dapat menebar kebermanfaatan melalui value yang saya yakini, yaitu semua berasal dari kualitas generasi baru. Semoga saya dapat berkontribusi dalam hal tersebut melalui buku anak nantinya. Aamiin.
3. Bentuk syukur pada Sang Pencipta. Kebutuhan untuk belajar dan berkembang juga merupakan fitrah Ibu, bukan hanya di rumah dan mendidik anak saja. Alhamdulillah Allah beri saya bakat yang mendukung untuk dapat bekerja, belajar, dan berkembang dari rumah saja sebagai ilustrator. Sehingga keduanya sangat mungkin untuk dilakukan. Maka dari itu, akan saya maksimalkan apa yang sudah dikasih untuk berusaha menjadi hamba yang patuh dan berdampak melalui bakat yang sudah diberikan. Terima kasih ya Allah.
4. Akselerasi spiritual. Iman bisa naik turun, dan saya merasa diri ini sering berada dalam kondisi datar ketika hidup dengan hal-hal yang pasti. Menjadi budak koorporat kemarin menimbulkan rasa aman bagi saya karena kestabilan yang diberikan, kadang jadi lupa untuk naik. Dengan keputusan ini, akan menjadi perjalanan spiritual saya yang baru, yang insyaAllah semakin mendekatkan pada kebaikan.
5. Komitmen sebelum menikah. Pekerjaan suami yang dapat dimutasi kapan saja kemana saja, dapat membuat peluang LDM menjadi lebih tinggi, sedangkan kami sudah berkomitmen sebelumnya untuk sebisa mungkin tidak harus menjalankan hal tersebut. Dengan pekerjaan yang dapat dikerjakan dari mana saja ini, kondisi keluarga yang ideal bagi kami, insyaAllah dapat diusahakan dengan maksimal.
Rasanya cukup lega setelah menulis ini. Semoga saya dapat memanfaatkan 'Privilege to Fail' ini dengan baik ya! Biasanya menutup dengan Alhamdulillah, tapi kali ini mari kita tutup dengan Bismillah.
Bismillah, Allah mudahkan jalan.