Di Balik 'Cuma Bercanda'
Sudah ga dikenang,
tapi kadang masih ingat.
*
Saya memandang bahwa hubungan yang mau
saya jalani adalah yang ga mengesampingkan pertemanan. Walau kenyataanya banyak
banget orang yang kalau 'pacaran' ga boleh berteman sama siapapun. Kemana-mana
harus berdua, apa-apa harus berdua, sampe ga punya atau bahkan ga dibolehin
punya temen lain selain pacarnya sendiri. I'm totally not into that kind of
relationship. Kalaupun ada yang seperti itu, ya silakan aja. Itu keputusan
masing-masing manusia atas pilihannya masing-masing. Tapi saya memilih untuk ga
pilih hal tersebut.
Pacar dan teman adalah dua lingkaran
berbeda yang harus saya punya dan ga bisa dibandingkan. Apalagi dieliminasi
salah satu keberadaanya, demi keberadaan yang lainnya. Hal terpenting dari
jalannya dua hal tersebut adalah saling menghargai. Teman menghargai pacar
temannya, pacar menghargai teman pacarnya. Teman dan pacar melakukan hal sesuai
porsinya. Dari situ akan tumbuh kepercayaan dengan sendirinya. Walau pada
kenyataanya, tentu, realita ga melulu sejalan dengan teori. Ada aja problematika
yang terjadi ketika berusaha mempertahankan dua lingkaran tersebut agar
sama-sama utuh.
Salah satunya adalah imbas dari "Cuma
Bercanda".
Bercanda emang menyenangkan, pelengkap
pertemanan. Bikin momen jadi makin asyik, dan membahagiakan. Seringkali sama
teman-teman terdekat bercanda udah ga harus lagi dipikirkan, apapun bisa jadi
bahan tertawaan.
Salah satunya, bercanda
'ngeceng-cengin'/menjodoh-jodohkan/mendekatkan orang yang ada dalam suatu
pertemanan tersebut dengan orang lain sebagai bagian dari gurauan, tanpa
pandang bulu udah punya pasangan atau belum, toh "Cuma Bercanda".
Kalau dilihat dari sudut pandang internal
pertemanan, ya, emang hal tersebut bukanlah apa-apa. Hanya candaan yang
biasa-biasa aja. Wajar, toh pada kenyataanya 'mungkin' emang ga ada apa-apa.
Gurauan belaka yang dilakukan demi kesenangan, kepuasan, ataupun hiburan dalam
kelompok tersebut, ga lebih. Karena mereka tau apa yang sebener-benernya
terjadi di dalamnya.
Tapi kalau dilihat dari sudut pandang
lain? Misal orang-orang yang ga ada dalam lingkaran pertemanan tersebut, atau
bahkan pasangannya sendiri, apa "Cuma Bercanda" akan terlihat sama
seperti apa yang teman-teman dalam lingkaran itu lihat?
Bagi orang yang jauh di luar lingkaran
bahkan ga kenal, hal tersebut bisa jadi bukan candaan lucu yang layak
ditertawakan, tapi hal yang ga sengaja jadi bahan pikiran. Memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa aja terjadi. Kadang baik, banyaknya buruk.
Terlebih lagi kalau itu dilakukan secara terus-menerus, bahkan sampai menahun.
Sulit untuk memandang positif. Awalnya yang cuma ga sengaja jadi bahan pikiran,
lama-lama tertanam, dan jadi toxic. Timbul spekulasi-spekulasi dengan
mengaitkan candaan dalam lingkaran, pendapat di lapangan, dan temuan pribadi
yang mengerucut ke satu tuju. Mulai adanya perasaan ga nyaman dan berkurang
kepercayaan. Kepikiran, tapi ga menemukan jawaban.
Dengan posisi yang ga tau apa-apa dan
belum mengenal teman yang bersangkutan, candaan ini akan jadi sebuah awal
perkenalan yang kurang menyenangkan.
Heran, apa yang ada dipikiran kelompok
teman tersebut ketika menjadikan hal kaya gitu sebagai bahan candaan, dengan
posisi tau bahwa temannya udah punya hubungan dengan orang lain. Terlebih
parahnya lagi adalah kalau kelompok teman tersebut bukan hanya tau, tapi juga
kenal dengan pasangan yang bersangkutan. Heran juga, apa yang ada dipikiran
subjek yang dibercandain kalau hanya diam, dan ikut larut dengan alasan
"Cuma Bercanda". Masih banyak opsi candaan-candaan lain, tapi kenapa harus candaan norak kaya gitu yang sering di lakukan.
Apa bercanda lebih berharga dibanding
menghargai keberadaan orang lain?
Ini satu contoh kecil dibalik
"Cuma Bercanda".
Banyak hal lain yang ga kita sadari
mungkin terjadi dibalik candaan yang lagi kita tertawakan.
Tenyata bercanda ga sesederhana itu, ada
kewajiban untuk saling menghargai di dalamnya.
*
Banyak yang menjadikan 'bercanda' sebagai
alasan.
"Itu kan cuma bercanda", jawab
mereka.
0 komentar:
Post a Comment