Damai dengan Utuh

Menulis dengan perasaan menggebu-gebu setelah merenung adalah hal yang sangat menyenangkan dan melegakan.
Pernah ga merenung tentang apa yang kita lihat tentang diri kita sendiri? Penilaian diri kita terhadap sosok kita sendiri? Hari ini tiba-tiba teringat renungan beberapa tahun lalu mengenai hal tersebut.  

Penilaian kita terhadap diri kita sendiri yang ada di pikiran kita, saya pikir bisa jadi mempengaruhi kedamaian yang ada jauh di dalam hati kita. Hal tersebut juga dipengaruhi seberapa dalam kita mengenal dan memaknai diri kita sendiri dalam kehidupan yang sangat besar dan kompleks ini. 

Kebiasaan masyarakat kita dalam menilai seseorang berdasarkan 'label-label' yang ada baik ekonomi, sosial, pendidikan, pekerjaan, dll tentu memiliki pengaruh timbal balik yang besar terhadap bagaimana kita juga menilai diri kita sendiri. Banyak sekali, bahkan kaum muda di era modern seperti sekarang sekalipun, yang masih refleks melihat hal penting seseorang dari posisi di pekerjaanya, histori pendidikannya, penghargaan yang orang tersebut dapatkan selama hidupnya, dan 'label-label' lainnya. Kemudian dari situ penilaian terhadap orang ybs disimpulkan. Inilah yang membuat banyak orang terbiasa memiliki rasa bangga terhadap 'label'. Jika belum mencapainya, maka 'label' yang secara tidak langsung menjadi standar penilaian terhadap seseorang, akan menjadi tujuan orang tersebut, tanpa ia sendiri gali apa yang sebenernya ia inginkan. Alasan dari tujuan menjadi terlalu dangkal dan kurang otentik, sesederhana "Saya ingin x karena di masyarakat 'label x' adalah yang dianggap terbaik". Ini adalah hal yang sangat umum terjadi, baik disadari, maupun tidak. Begitulah pula jadinya kecenderungan kita dalam menilai diri kita sendiri, tidak jauh beda dengan cara kita melihat dan menilai orang lain.

Banyak dari kita yang memandang diri kita bernilai ketika kita bekerja di perusahaan A dengan posisi B. Lalu kita sangat merasa bangga dengan hal tersebut. Jika perusahaan atau posisi tersebut lepas, maka kita bukanlah apa-apa. Dari penilaian dengan cara itulah yang menurut saya mejadi salah satu penyebab banyak manusia hidup dalam ketidakdamaian hati. Pandangan bahwa diri kita menjadi bernilai ketika menempel dengan 'atribut' tertentu. 'Atribut' tidak abadi, yang suatu waktu bisa saja hilang. Sehingga timbulah perasaan khawatir akan kehilanggan. Khawatir, karena kita merasa nilai diri ini terdapat pada 'atribut' atau 'label' yang menempel tersebut, bukan pada apa yang ada di dalam diri kita sebenarnya. Nah ini menurut saya adalah hal penting yang perlu diubah ketika kita ingin memiliki suasana hati yang damainya utuh. 

Dimulai dari mengenal dan mengerti makna kehidupan kita sendiri, akan sangat mendukung kita untuk lebih mudah merasakan bahwa value yang ada dalam diri kita bukanlah 'atribut'/'label' tersebut. Tetapi ya benar-benar apa yang ada dalam diri kita. Pemikiran kita, karakter kita, hati kita. Sehingga tidak akan ada perasaan khawatir akan kehilangan. Hal tersebut juga berpengaruh pada tujuan kita dalam melakukan sesuatu. Secara alamiah tujuan tersebut akan perlahan berubah menjadi lebih berdasar pada pengembangan pemikiran, karakter, hati, dan kebermanfaatan bagi sekitar, yang tentunya lebih memberikan ketenangan dan ketulusan. Tidak ada lagi melakukan sesuatu hanya berdasar pada 'label' yang akan menjadi penilaian masyarakat pada umumnya, padahal itu hanya menutupi kekopongan tujuan.

Cara pandang tersebut juga tentunya perlu diterapkan dalam menilai orang lain. Kenalilah secara utuh orang lain ketika bertemu. Dengarlah secara utuh orang lain ketika berbincang. Observasilah cara pandangnya ketika menyampaikan opini, caranya bersikap ketika dihadapi dengan sesuatu, caranya merespon emosi yang ia rasakan dalam suatu momen. Nilailah dari hasil observasi tersebut, bukan dari 'atribut'/'label' yang menempel pada dirinya. Dengan begitu ketika kita terhubung dengan orang lain, landasannya adalah ketulusan, bukan kepentingan. Faktor-faktor yang membuat hati tidak damai menjadi semakin minim, relasi yang landasannya ketulusan juga biasnya long-lasting

Contoh real sederhananya kurang lebih begini. Ketika kita harus resign dari perusahaan dengan label bergengsi karena dihadapi dengan kondisi yang sangat urgent misalnya, tidak lagi berpikir bahwa dengan hilangnya hal tersebut maka kita akan menjadi tidak bernilai. 

Kita bernilai, dan akan tetap seperti itu dimanapun, menjadi apapun.
Selama terus belajar dan mengembangkan diri.

Setidaknya itu yang dirasakan manusia yang sering kali merenung ini.

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment

Back
to top