Rusak dengan Tenang

Ketidaktauan yang harus diterima.

Ga semua yang ditampakkan seseorang adalah apa yang ia rasakan sebenarnya. Ga akan ada satu orang pun tau apa yang sedang dialami atau dirasakan seseorang kecuali dirinya sendiri. 

Ketika kita memiliki spekulasi tertentu terhadap orang lain kemudian menyimpulkan dan mempercayai hal tersebut sebagai apa yang sebenarnya terjadi dari aktifitas yang mereka tampakkan di dunia nyata maupun maya, bukan berarti spekulasi tersebut benar adanya.

Kita ga bisa mengendalikan apa yang orang lain lakukan. Apa yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan apa yang kita pikirkan terhadap apa yang orang lain lakukan tersebut. Memastikan bahwa jangan sampai timbul emosi negatif sebagai responnya. Ketika kita merasa sulit dan sudah ada dalam lingkaran spekulasi tersebut, ga ada salahnya untuk menanyakan langsung kepada yang bersangkutan apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah itu poin dari komunikasi yang benar?

Tapi banyak dari kita justru tenggelam dalam spekulasi ga baik tersebut. Kebiasaan untuk menerka-nerka secara ga langsung mungkin menjadi tertanam dalam diri kita karena itu yg biasa juga dilakukan orang lain terhadap diri kita pada kehidupan sehari-hari selama ini. Sehingga informasi yang didapat jadi ga sesuai. Bahaya sekali ketika spekulasi tersebut merupakan hal negatif yang sudah tertanam dalam diri kita sebagai apa yang sebenarnya terjadi, lalu mempengaruhi langkah besar kita kedepannya. Kalau sudah merasa itu akan mempengaruhi kita dalam skala yang besar, kenapa ga kita coba usahakan untuk memastikannya secara langsung saja? Memang ga akan mudah pada awalnya, tapi apa ketidakbaikan yang timbul karenanya adalah sebuah hal yang harus kita ambil dari pada memilih untuk mencoba berkomunikasi dengan benar terlebih dahulu?

Rusak.

Kata yang didominasi arti negatif tapi pada kenyataanya merupakan fase yang pasti dialami setiap manusia dalam kehidupannya. 

Yang sudah lama selalu penuh, tiba-tiba harus rusak begitu saja.

Semua manusia adalah Kintsugi dengan skenario yang berbeda-beda. Sama-sama pernah rusak, hanya bervarisasi pada penyebabnya saja. Sama-sama berusaha sembuh dan hidup, tapi tetap ada bekasnya juga. (Kintsugi adalah sebuah seni dari Jepang dimana kita menyatukan kembali kepingan keramik atau tembikar yang sudah pecah dengan cairan emas sehingga menjadi bentuk semulanya). Seni yang indah, tapi keindahan ga menghilangkan kerusakan itu sendiri, kan?

Menjadi kokoh dan indah, namun tetap rusak.

Mungkin bagi orang-orang yang ga biasa mengekspresikan apa yang dirasakan atau menganggap bahwa itu adalah sebuah privasi yang harus dijaga, rusaknya menjadi ga tampak. Tapi ga tampak bukan berarti ga terjadi. Terjadi juga bukan berarti terus larut dalam lara. Berusaha menjalankan aktifitas dengan baik dan mengalami kerusakan bukan dua hal yang harus saling mengeliminasi satu sama lain ketika terjadi dalam waktu yang bersamaan. Apakah ketika kita sedang dalam fase rusak kemudian ada momen-momen membahagiakan, lalu momen tersebut harus ga kita nikmati karenanya? Ga adil. Rusak ada dalam diri kita, dan momen atau kehidupan ada di luar diri kita, dengan kita sebagai pelakunya. Jelas dua lingkaran terpisah, yang terhubung oleh perasaan dan pikiran kita sendiri. Hal tersebut yang membuat respon manusia terhadap kerusakan itu berbeda-beda. Menjadi rusak itu gapapa kok. Semua pun pasti pernah mengalaminya. Ga mesti diabaikan, ga mesti juga terlalu larut. Kalau efek dari kerusakan tersebut muncul, keluarkan rasanya. Kalau momen baik muncul, dinikmati juga suka citanya. Hidup menjadi manusia. Semoga bisa dilihat sebagai manusia juga ya. Yang bisa tetap rusak, walau terlihat kokoh. 

Rusak dengan tenang. Rusak, tapi ga kelihatan aja.
Rusak di bawah kendali. Tetap rusak, tapi dinikmati aja.

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment

Back
to top