Terlalu normal.
Banyak yang menyatakan bahwa karakter alami seseorang merupakan sesuatu yang dihasilkan dari semua hal yang pernah orang tersebut alami semasa hidupnya. Latar belakang ia tumbuh, pendidikan, lingkungan, hubungan, kejadian-kejadian, trauma, dan segala hal sekecil apapun itu bisa jadi sumbangsih pembentukan karakter orang tersebut.
Kadang terpikir perihal tersebut, dan berujung pada menganalisa diri sendiri. Seperti apa saya, dan kenapa bisa seperti itu?
Ketika mendengar cerita orang-orang terdekat, selalu merasa kisah hidup yang mereka alami ko bisa semenarik itu. Segalanya dinamis, baik kejadian maupun emosi yang dihasilkan dari kejadian tersebut. Fluktuatif. Memang kadang jadi permasalahan yang sulit, tapi bukannya itu yang dinamakan kehidupan? Marah, sedih, senang, haru, bisa silih berganti datang dan menghiasi. Selalu ada cerita baru di setiap temu, sangat senang bisa dijadikan tempat berbagi. Sungguh, banyak warna dan makna yang didapat justru dari cerita-cerita kalian. Terimakasih banyak karena telah percaya dan menjadikan saya wadah untuk berbagi atau sekedar mencari solusi. Terimakasih, sekali lagi.
Semua hal di bawah ini ditulis dengan rasa syukur.
Hidup normal, keluarga normal, masa kecil normal, hubungan dengan semua orang baik teman, keluarga, maupun lingkungan normal. Semua langkah hingga sekarang dilalui dengan normal.
Tidak pernah memiliki trauma, tidak pernah punya kejadian-kejadian yang membuat sangat kesulitan atau sedih, tidak pernah memiliki konflik dengan orang lain, tidak pernah memiliki masalah keluarga, tidak, semua tidak.
Tidak pernah memiliki trauma, tidak pernah punya kejadian-kejadian yang membuat sangat kesulitan atau sedih, tidak pernah memiliki konflik dengan orang lain, tidak pernah memiliki masalah keluarga, tidak, semua tidak.
Katanya faktor terbesar adalah keluarga. Keluarga kecil maupun besar yang saya miliki punya hubungan yang sangat baik, family oriented. Orang tua normal. Kakak dan adik normal dan melalui semua langkah di hidupnya dengan normal. Semua lahir dan dididik dengan kasih dan sayang. Bahkan Ayah tidak pernah sama sekali mengeluarkan rasa marahnya terhadap siapapun. Sejak bisa melihat dan mengerti, saya ga pernah tau bagaimana Ayah ketika marah. Itu berimbas pada diri saya sendiri yang jadi ga tau cara mengekspresikan rasa marah. Sedangkan marah adalah hal yang paling banyak jadi alasan seseorang memiliki konflik dengan orang lain. Marah saja ga bisa, gimana bisa punya konflik?
Bener-bener semua senormal itu. Bingung sekali kalau disuruh menceritakan hal-hal yang saya alami karena memang setidak menarik itu. Hanya cerita-cerita lucu dan bahagia yang sering jadi andalan untuk dibagikan dengan orang lain. Sisanya biasa saja. Untuk sekedar berbagi keluh pun, jujur saja ga ada hal yang pantas saya keluhkan. Kalau definisi masalah yang dimaksud mengenai kejadian dengan orang lain, atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan membuat kita merasa sulit, juga ga ada. Malu rasanya ketika mengingat masalah-masalah yang orang lain ceritakan, kalau saya mengeluh dengan kenormalan yang dipunya.
Kadang saya pikir, apa memang yang saya alami sedatar itu atau cara saya memandang dan meresponnya aja yang sebiasa itu?
Ada kok orang yang hampir ga punya emosi.
Mungkin.
Mungkin.
Tapi apa menjadi terlalu normal memungkinkan kita punya masalah?
Mungkin, mungkin.
Mungkin, mungkin.
Entah bisa disebut masalah atau bukan, ada beberapa perasaan yang ga perlu dirasakan tapi entah kenapa selalu saja datang. Ini sebenarnya ga begitu bisa juga diungkapkan, karena saya sendiri pun ga ngerti, tapi salah satu jalan mempermudah saya mengerti adalah dengan mencoba menuliskannya.
Tumbuh dalam kenormalan, kebaikan, kehangatan menjadikan empati yang ada cukup besar apalagi terhadap orang-orang yang sangat dekat. I do care about them, a lot.
Saya seperti ada di dalam setiap perasaan dan ekspektasi mereka. Tapi hal tersebut ternyata kadang menimbulkan perasaan bersalah, tidak enak hati, tidak merasa cukup baik, yang berlebihan, ketika sebenarnya mereka merasa semua baik-baik saja sekalipun. Ambisi yang ada untuk bisa membahagiakan dan memenuhi seluruh ekspektasi orang-orang yang saya temui seakan jadi prioritas, tidak jarang melebihi ambisi untuk kepentingan diri saya sendiri.
Saya seperti ada di dalam setiap perasaan dan ekspektasi mereka. Tapi hal tersebut ternyata kadang menimbulkan perasaan bersalah, tidak enak hati, tidak merasa cukup baik, yang berlebihan, ketika sebenarnya mereka merasa semua baik-baik saja sekalipun. Ambisi yang ada untuk bisa membahagiakan dan memenuhi seluruh ekspektasi orang-orang yang saya temui seakan jadi prioritas, tidak jarang melebihi ambisi untuk kepentingan diri saya sendiri.
Ketika saya sudah melakukan kewajiban sebagai pegawai tapi sadar sebenarnya saya masih punya potensi lebih yang belum dimaksimalkan, tidak memberikan hal terbaik yang bisa saya lakukan dengan alasan tertentu, saya merasa bersalah sekali. Padahal tidak ada pekerjaan yang saya lakukan dengan salah.
Ketika ada orang yang mencegat untuk menawarkan sesuatu di jalanan, lalu terpaksa saya abaikan dengan sopan karena sudah terikat waktu, saya bisa ga enak hati seharian karena memikirkan hal tersebut. Sebegitunya, memang.
Ketika ada keluarga, sahabat, orang terdekat yang meminta bantuan atau menginginkan untuk menghabiskan waktu bersama, akan selalu saya iyakan dan usahakan. Tidak peduli sebenarnya ada deadline yang harus saya kerjakan kah saat itu, yang menjadikan saya harus tidak tidur dan lanjut melakukan kegiatan besoknya kah, lelah, sedikit sakit, atau kondisi apapun. Saya selalu ingin bisa memenuhi apa yang mereka semua inginkan, dan bahagia dengan hal tersebut.
Ketika ada orang yang sangat baik kepada saya, sering sekali saya merasa belum sebaik itu membalas pelakuan mereka.
Banyak lagi ketika-ketika lainnya yang dialami.
Saya tau ada sesuatu yang tidak sesuai porsinya dari sikap yang saya lakukan. Kadang juga hal-hal tersebut menjadikan kepentingan-kepentingan yang seharusnya bisa saya lakukan dengan lebih baik dan maksimal jadi agak dikesampingkan, dan berujung pada hasil yang kurang memuaskan. Tapi saya ga sedih dan ga mempermasalahkan hal tersebut dengan menyambung-nyambungkan atau menyesali perbuatan yang sudah saya pilih, karena saya bahagia melakukan hal-hal tersebut. Yang jadi permasalahan dipikiran saya adalah, apakah hal tersebut adalah sesuatu yang benar dan sehat atau tidak untuk terus dilakukan? Saya benar-benar ga ada ide tentang ini. Sering sekali saya mendengar dan membaca suatu hal tentang memprioritaskan diri sendiri, membahagiakan diri sendiri, memedulikan apa yang diri sendiri mau, mengutamakan kepentingan diri sendiri dahulu, dan lain sebagainya. Apakah iya? Yang jelas saya tau bahwa perasaan tidak baik seperti mudah bersalah, tidak enak hati, merasa kurang baik, secara berlebihan atas sesuatu hal yang tidak jelas itu tidak semestinya dipelihara. Perasaan-perasaan tersebut yang sering mengganggu dan membuat saya merasa tidak dalam kondisi yang baik. Tapi secara naluriah dan alamiah perasaan itu sering saya rasakan. Berusaha mengurangi dan mengontrol hal tersebut sudah tentu. Mungkin itu sebagian refleksi bahwa seenak apapun hidup, takdir, nasib yang dilihat orang terhadap orang lain, setiap orang pasti punya permasalahannya masing-masing. Ada yang bersangkutan dengan orang lain, ada juga yang bersangkutan dengan dirinya sendiri.
Ternyata masih belum terselesaikan dengan menulis.
Masih bingung.
Masih harus merenung.
Saya tau ada sesuatu yang tidak sesuai porsinya dari sikap yang saya lakukan. Kadang juga hal-hal tersebut menjadikan kepentingan-kepentingan yang seharusnya bisa saya lakukan dengan lebih baik dan maksimal jadi agak dikesampingkan, dan berujung pada hasil yang kurang memuaskan. Tapi saya ga sedih dan ga mempermasalahkan hal tersebut dengan menyambung-nyambungkan atau menyesali perbuatan yang sudah saya pilih, karena saya bahagia melakukan hal-hal tersebut. Yang jadi permasalahan dipikiran saya adalah, apakah hal tersebut adalah sesuatu yang benar dan sehat atau tidak untuk terus dilakukan? Saya benar-benar ga ada ide tentang ini. Sering sekali saya mendengar dan membaca suatu hal tentang memprioritaskan diri sendiri, membahagiakan diri sendiri, memedulikan apa yang diri sendiri mau, mengutamakan kepentingan diri sendiri dahulu, dan lain sebagainya. Apakah iya? Yang jelas saya tau bahwa perasaan tidak baik seperti mudah bersalah, tidak enak hati, merasa kurang baik, secara berlebihan atas sesuatu hal yang tidak jelas itu tidak semestinya dipelihara. Perasaan-perasaan tersebut yang sering mengganggu dan membuat saya merasa tidak dalam kondisi yang baik. Tapi secara naluriah dan alamiah perasaan itu sering saya rasakan. Berusaha mengurangi dan mengontrol hal tersebut sudah tentu. Mungkin itu sebagian refleksi bahwa seenak apapun hidup, takdir, nasib yang dilihat orang terhadap orang lain, setiap orang pasti punya permasalahannya masing-masing. Ada yang bersangkutan dengan orang lain, ada juga yang bersangkutan dengan dirinya sendiri.
Ternyata masih belum terselesaikan dengan menulis.
Masih bingung.
Masih harus merenung.
0 komentar:
Post a Comment